Berita Terkini


Alkisah tersebutlah seorang kepala pasar yang sehari-harinya memakai "suspender" model Y untuk mencegah pinggang celana jin "baggy"-nya melorot.
Lalu topi jerami lebar, kemeja putih lengan panjang yang digulung dan sepatu olahraga.
"Pakaian kerja !", ujarnya kepada semua orang.
Berkat kepemimpinan kepala pasar itu, omzet semua pedagang meningkat.
Yang semula puluhan ribu menjadi ratusan ribu. Dan yang ratusan ribu menjadi jutaan.
Maka semua pedagang menghormatinya.
Pagi itu laki-laki berperawakan gemuk menjelang waktunya pensiun tersebut duduk saja di kantornya.
Pikiran dan perasaannya sedang tak menentu karena laporan para staf beberapa hari yang lalu.
Stafnya melaporkan bahwa pohon kelapa yang menjadi simbol kerindangan pasar telah terlihat layu.
Daun-daunnya mengering bahkan ada pelepahnya yang melemah.
"Jika dibiarkan akan mati !", kata seorang staf bagian pertamanan.
Pagi itu di kantornya, Pak Kepala Pasar mengingat-ingat kejadian satu bulan yang lalu berkenaan dengan pohon kelapa tersebut.
Ketika itu seluruh pasar gempar.
Satu buah kelapa kering telah jatuh dan mengenai kepala seseorang.
Untung tidak apa-apa.
Setelah dirujuk ke Puskesmas, orang itu boleh pulang.
Namun sejumlah orang melihat kemungkinan hal itu bisa terjadi lagi.
"Sejumlah kepala lagi masih bisa tertimpa kelapa !", kata orang-orang itu.
"Harus ada tindakan !" ujar lainnya.
Hari-hari berikutnya, entah mereka datang dari mana, orang-orang berkumpul-kumpul di depan kantor kepala pasar.
Orang-orang membawa aspirasi berjudul "selamatkan kepala dari kelapa".
Mereka berkumpul-kumpul tidak jauh dari pohon kelapa yang mereka persoalkan.
Orang-orang yang masih muda belia itu berteriak-teriak.
"Tenang-tenang. Semua tenang dulu !", kata kepala pasar.
Kedua lengannya dia gerakkan naik turun dengan telapak tangan membuka.
Orang-orang menolak untuk tenang.
"Tebang !", teriak seseorang dengan lantangnya.
"Panas, dong !", kata kepala pasar.
"Pangkas !"
"Jelèk, dong !"
Satu orang mengusulkan agar buah kelapa, bluluk dan bunganya dipotong sampai habis.
Kepala pasar tidak bisa menerima usul itu.
"Itu pengebirian namanya !", kata dia.
"Kasian. Dan lagi siapa yang mau manjat".
Akhirnya karena tidak ada keputusan, orang-orang pada pulang.
Di tengah-tengah kerumunan itu, seorang lansia berkata kepada sejumlah pengusung aspirasi.
"Itu pohon kelapa mengerti lho, apa yang kalian omongkan. Pasti dia sedih !"
Para pengusung aspirasi diam saja.
Itu kejadian satu bulan yang lalu yang membuat kepala pasar berada dalam dilema besar.
Dan karena sedih daun pohon kelapa mengering.
Maka hari itu dari pagi hingga petang kepala pasar lebih banyak berada di kantornya.
Hari sudah sore.
Waktunya pulang.
Tiba-tiba kepala pasar keluar dari kantornya.
Dia berjalan menuju ke pohon kelapa.
Para staf mengikuti.
Sampai di depan pohon itu, kepala pasar berhenti.
Dia mengangkat kepalanya memandang pohon tersebut.
Para staf melakukan hal yang sama.
Sementara itu sejumlah orang mendekat ingin tahu apa yang terjadi.
Suasana hening.
Orang-orang menunggu.
Tiba-tiba kepala pasar berkata:
"Maafkan kami. Memang kami salah. Tumbuhlah terus. Berbuahlah !"
Lalu terdengar tepuk tangan.
Mula-mula sedikit.
Lalu banyak dan semakin banyak sampai akhirnya seluruh pasar bertepuk tangan.
Sejak itu pohon kelapa tersebut kembali menghijau.
Kemudian ada papan bertuliskan peringatan.
"Dilarang berada di bawah pohon kelapa".
Tamat
***
Martono, Cerpenis seorang wartawan senior.