Berita Terkini


“Sssttt!” Darwito membekap mulut istrinya. Dalam bekapan tangan suaminya, Wanita penjual bubur itu mengangguk. Matanya masih tetap fokus pada Asih di depan sana. Mendadak melotot, ketika melihat Asih tiba-tiba menghentikan tariannya.
Glek!
Tubuh sepasang suami istri itu menegang. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Keduanya mendapati Asih sedang menatap ke arah tempat persembunyian mereka. Matanya tertumbuk pada satu arah, seolah bisa menembus rimbunnya daun dan ranting teh-tehan.
“Pulang, Bu. Ndak bener ini,” ajak Darwito berbisik, mulai menyadari gelagat aneh anak tetangganya.
“Bentar toh, Pak. Iku Asih kenapa?”
“Bukan Asih itu, Bu. Awakmu ndak lihat, po, tingkahnya aneh begitu. Ayo pulang! Ini kita sudah di pinggir hutan.”
Awalnya Sopiah bersikeras untuk tetap berada di tempatnya. Yakin kalau matanya tak salah lihat. Khawatir kalau terjadi sesuatu hal buruk pada anak yang selama ini, tiap pagi membeli sarapan di rumah. Tak tega meninggal gadis itu sendirian. Apalagi dengan kondisi tanpa pakaian.
Namun, ketika melihat kaki Asih yang tak mengenakan alas kaki itu melangkah mendekati mereka, Sopiah langsung merubah niat. Dia mulai yakin kalau yang disampaikan suaminya mungkin ada benarnya.
“P-pak itu … dia ke sini.”
Nafas Sopiah tercekat. Tubuhnya yang semula berjongkok, kini terjengkang. Dia menarik mundur tubuh gempalnya. Berusaha menjauh secara tergesa-gesa.
Perempuan tanpa pakaian di depan sana semakin memangkas jarak. Langkahnya begitu pelan. Kepalanya melenggak-lenggok ke kiri dan kanan. Bibirnya terus menyeringai lebar.
“Bangun, Bu. Ayo pergi sekarang!”
Darwito berdiri. Dia mulai panik menyeret tubuh istrinya. Sudah tak peduli kalau Asih benar-benar melihatnya. Yang terpenting adalah mereka segera pulang.
“Bu, ayo, Bu!” teriak Darwito lagi. Jantungnya sudah berdentam-dentam. Nafasnya memburu, tak sabaran menghadapi istrinya yang masih saja diam. Sementara Asih di depan sana makin mengerikan.
Perempuan bernama lengkap Retno Winarsih itu terkikik kencang. Melengking memecah sunyi nya malam. Tawa yang terkesan mengejek sepasang suami istri yang sedang menggigil ketakutan.
“Asih!”
Suara berat seorang pria terdengar. Panggilan itu seperti sebuah rem cakram. Asih yang semula tertawa kencang, seketika berhenti dan membalik badan.
“Reneo, Nduk!” ujar suara itu lagi, meminta agar Asih mendekat.
Jinak. Asih langsung mendekat. Gadis itu seperti piaraan yang patuh pada tuannya. Membuat Sopiah dan suaminya semakin melongo tak percaya. Bingung dengan apa yang terpampang di depan mata.
“Si-siapa itu, Pak?” tanya Sopiah terbata-bata. Masih belum bisa menyetabilkan debar jantungnya. Masih tak menyangka dengan apa yang terjadi pada anak sang tetangga.
Sopiah yang masih duduk di tanah tak bisa melihat siapa yang baru saja memanggil Asih. Suara yang terdengar barusan, asing di telinganya. Sopiah ingin tahu, hanya saja, tubuhnya masih terlalu lemas untuk bangkit demi memenuhi rasa penasarannya.
“Pak!” ulang wanita itu sembari menyenggol paha suaminya.
Bukan tak mendengar. Isi Darwito pun sama dengan istrinya. Dia ingin melihat siapa yang baru saja memanggil Asih. Dirinya tengah fokus melihat perempuan muda itu berjalan mendekati seseorang yang berdiri jauh di depan. Tepat di bawah sebuah pohon beringin besar.
“Ndak tahu, Bu. Ndak kelihatan jelas,” jawab Darwito. Tapi, matanya masih berusaha menembus jauh ke depan.
Ayah dari empat orang anak itu melihat Asih berhenti di depan orang yang memanggilnya. Posisi orang itu berdiri di bawah pohon besar, membuat wajahnya tak tersorot oleh sinar rembulan. Darwito hanya melihat tangan orang itu terulur ke kepala Asih dan menepuk-nepuknya. Lalu setelahnya, mereka berjalan beriringan.
“Siapa laki-lakinya, Yu?” tanya Warti membuyarkan lamunan Sopiah dari kejadian semalam.
“Wah, ndak tahu juga awakku. La wong, gelap, jauh pula. Cuma Kang Darwito lihat posturnya, katanya kurus, tinggi.”
“Ya Allah … kok ndak ditarik saja Asihnya sih, Yu. Ini sekarang dia dimana? Kalau dia diapa-apain sama laki-laki itu bagaimana?”
“Oalah, Yu Warti. Ndak disuruh pun awakku yo ngerti. Sudah tak panggil berkali-kali, tapi dia nggak ada nengok sama sekali. Makanya awakku sebenarnya ragu. Tapi, kok sekarang njenengan datang, terus bilang kalau Asih hilang. Jadi, yakin, kalau yang awakku lihat semalam memang benar Asih.”
Betapa rapuhnya hati seorang perempuan jika menyangkut masalah anak. Warti langsung terisak. Pikirannya selalu buruk terhadap nasib sang anak.
Tangisnya kian tergugu meski sang tetangga mencoba menenangkan. Sampai akhirnya seseorang datang untuk membeli sarapan. Warti mau tak mau, diam.
“Wis, sekarang awakmu pulang dulu, Yu. Nanti setelah rampung jualan, tak bantu cari Asih. Awakku sama bojo juga ndak bakal nyebarin berita ini ke siapapun. Wis sing tenang.”
Suasana luar rumah Sopiah yang semakin ramai membuat Warti memilih pulang lewat pintu depan. Dia terlalu malu untuk menunjukkan mata sembab di depan banyak orang. Terlebih ketika hari sudah terang benderang.
Terburu-buru wanita kurus itu kembali ke rumah. Tak ingin berpapasan dengan tetangganya. Dia langsung masuk dan menuju kamar kedua anaknya.
Di saat iu Warti baru menyadari kalau di ranjang anaknya tampak begitu berantakan. Ada banyak pakaian berserakan. Bercampur dengan selimut dan bantal.
Warti memungutnya. Pakaian itu adalah pakaian yang Asih kenakan semalam. Warti ingat, sebab sebelum tidur dia sempat mengoleskan parutan jahe ke tubuh anaknya yang memar. Aroma rempah itu masih melekat di pakaian anaknya.
*******
“Aduh, gimana ini, Yu? Gimana kalau sampai malam Asih ndak ketemu?”
Wajah Asih pucat. Rambutnya yang sebagian sudah memutih, tampak berantakan. Wajah oleh air mata. Tubuhnya lelah seharian ini memikirkan nasib anaknya yang belum juga pulang.
Dibantu Sopiah, dia sudah mencari seharian. Namun, hingga matahari hampir terbenam, Asih belum juga ditemukan. Warti sampai lupa, lambungnya dari pagi belum diisi makan. Kondisi badannya yang belum sehat benar, membuatnya sempat pingsan.
Di pelukan Turidah, Warti menangis histeris. Rumahnya sudah ramai orang. Kabar hilangnya Asih sudah terdengar oleh telinga tetangga. Sopiah bahkan mengambil keputusan untuk melaporkan ke perangkat desa. Dia ingin ada bantuan pencarian Asih dan gadis itu bisa ditemukan dengan segera. Dalam kondisi baik-baik saja.
“Sing sabar. Bapak-bapak masih terus mencari keberadaan Asih. Bahkan kalau perlu sampai malam.” Sopiah mencoba menenangkan.
“Malu awakku, Yu. Orang-orang sudah tahu semua. Kalau misal diapa-apain sama laki-laki itu bagaimana? Hancur masa depannya. Bikin malu keluarga.”
“Ndak usah mikir terlalu jauh. Yang penting sekarang, anakmu cepat ketemu,” timpal Turidah yang sedari pagi membersamai Warti. “Iku HP-nya Asih lagi dipinjam sama Pak RT. Mau cari tahu siapa laki-laki yang bawa dia pergi. Mungkin mereka berhubungan lewat Hp, to? Sekalian mau telpon bojomu, dikasih kabar kalau Asih hilang. Sukur-sukur dia pulang. Kasihan, anak kalian sudah pada besar-besar. Butuh perlindungan bapaknya.”
“Jangan, Yu! Ndak usah kasih tahu Kang Wandi. Nanti dia marah besar,” tolak Warti tegas. Dia sampai menggelengkan kepalanya. Terbayang wajah garang suaminya.
“Tenango, War. Nanti awakku bantu jelaskan sama Wandi. Pelan-pelan, pasti dia bakal mengerti. Biar dia punya tanggung jawab. Anak sama bojo ditinggal terus bertahun-tahun. Ngasih nafkahnya Senin Kamis. Bapak macam apa dia itu?” Turidah tetangga yang paling dekat, tahu betul bagaimana perangai suami Warti selama ini. Mudah marah juga lalai terhadap nafkah.
“Sudah, awakmu sekarang makan dulu. Sing tenang, nanti malah sakit lagi. Berdoa saja semoga Asih bisa segera ketemu dan baik-baik saja. Awakku sama Yu Sopiah, mau ke depan dulu. Mau nemuin Pak RT di depan. Semoga ada kabar baik dari beliau.”
Kedua wanita paruh baya itu meninggalkan Warti sendirian. Menuju teras rumah, di mana para tetangga dan Pak RT berkumpul. Mereka bahu membahu membantu arti untuk mencari Asih seharian ini.
Seluruh wilayah desa sudah dijelajah. Pergi ke tempat-tempat yang sekiranya sering dikunjungi Asih. Bahkan ke sungai tempat Asih kecil dulu sering bermain air bersama teman-teman. Namun, semua usaha yang sudah dilakukan belum membuahkan hasil. Asih seperti ditelan bumi. Hilang tanpa jejak.
“Pripun Pak RT? Apa sudah ada kabar?” tanya Turidah.
“HP-ne Asih sudah diperiksa tadi sama anak saya. Anaknya Yu Warti itu memang ada berbalas pesan sama laki-laki. Tapi, kayaknya ndak mungkin kalau dibawa laki-laki itu. Soalnya dari facebok-nya, dibuka kok bertempat tinggal di Jakarta.”
“Yo bisa saja to, Pak. Jaman sekarang itu banyak orang sinting!” sahut Turidah berapi-api. Mendengar cerita dari Sopiah tentang apa yang dilihatnya semalam, dia emosi.
“Nek menurutku sih, ndak, Yu.” Sopiah menimpali. “Kalau benar yang berkomunikasi sama Asih orang Jakarta, ndak mungkin kejadian kaya semalam. Masa orang kota masih main begituan. Sampai disuruh telan-jang. HP-nya juga ditinggal.”
“Ada yang sudah mencari ke gubuknya Jito belum?” Warti tiba-tiba bersuara dari dalam. Dia sedang berjalan sempoyongan ke teras depan.
Ibu dua anak itu duduk di tengah pintu. Dia pandangi tetangganya satu per satu. “Mbuh yo, perasaanku kok dari kemarin ndak enak pas lihat Jito berdiri lama di depan rumahku pagi-pagi. Matanya dia itu aneh.”
Jeda sejenak, Warti berusaha menarik nafasnya dalam. Membayangkan nasib Asih, dadanya terasa sesak. “Dari dulu Jito sudah bertindak tidak normal. Suka ngintpin perempuan. Selama ini dia diasingkan. Ndak ada yang tahu dia pergi kemana? Melakukan apa saja. Orang pendiam seperti dia itu justru mengerikan.”
Wanita yang wajahnya sudah dipenuhi keriput itu terisak. Dia memandang ke arah Pak RT penuh harap. “Tolong, Pak. Awakku yakin, Asih pasti ada sama dia.”
Pak RT saling pandang dengan warganya. Berbarengan dengan suara azan magrib yang sayup sayup terdengar. Pria yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu menganggukkan kepala. “Nggih, Bu. Nanti setelah maghrib, saya sama bapak-bapak yang lain coba lihat ke sana.”
***
Penulis: Sarasvati Tunggadewi, cerpenis.