Skip to main content

Dua Mangkok Mi Bakso di Siang yang Terik

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Matahari Juli siang itu terik sekali membakar kulit dan daun-daun.
Laki-laki tua melipat koran yang baru saja dibacanya lalu meletakkannya di meja bulat teras rumahnya. Sebuah rumah tua yang catnya kusam dan kayu kusennya keropos di sana-sini.

Dia baru saja akan beranjak untuk masuk ke dalam rumah ketika mendengar pintu pagar besi rumahnya diketuk-ketuk.

Dia lalu melihat ke arah bunyi ketukan.

Seorang anak perempuan, dalam baju seragam sekolah dan menyandang tas punggung, berdiri di luar pagar.

Tampak kebingungan.

Laki-laki itu lantas mendekat.

"Ada apa ?", dia bertanya.

Murid sekolah itu diam sejenak seperti ragu atau takut.
Kemudian pada akhirnya dia berkata:

"Aku 'kan anak asuh kakèk !".

Laki-laki tua itu terperangah mendengarnya.
Kaget setengah mati.

"Nggaklah !", ujarnya spontan "nggak mungkin".

Anak perempuan murid sebuah sekolah itu terdiam.
Agak lama.
Kemudian dia berkata:

"Aku belum bayar uang sekolah !".

"Terus !".

"Minta uang !".

Laki-laki tua kaget lagi.

"Sana minta orang tua kamu !", dia berucap.

"Tak ada !"

Laki-laki itu berpikir tak ada uang apa tak ada orang tua. 
Rasa ibanya lalu muncul.

"Berapa ?", ujarnya.

"Seratus !", anak perempuan itu menjawab.

"Cuma seratus ?"

"Iya, Kèk. Seratus ribu !".

Laki-laki tua lalu mengambil dompet abu-abunya dan menarik satu lembaran uang kertas berwarna kemerah-merahan.

"Ini !", katanya.

Wajah anak perempuan sumringah.

"Terima kasih, Kèk !", ujarnya terus pergi.

Laki-laki tua termangu.

Berpikir apakah sudah betul apa yang baru saja dilakukannya.

Dalam keraguannya itu, dia membuntuti anak perempuan murid sebuah sekolah itu.

Tiba di tikungan di balik tembok yang tinggi, dia melihat anak perempuan itu bercakap-cakap dengan seorang anak laki-laki yang menaiki sepeda motor.

Lantas keduanya whoosh pergi berboncengan sambil tertawa-tertawa.

Laki-laki tua itu buru-buru memanggil ojek motor.

"Ikuti mereka !" suruhnya kepada tukang ojek.

Menyusuri jalan-jalan lingkungan dan melewati pasar, akhirnya anak perempuan dan kawannya itu berhenti di sebuah restoran bakso besar yang terkenal di kota.

Kedua orang muda itu masuk.

Duduk untuk langsung memesan dua mangkok mi bakso.

Mereka bercakap-cakap sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Tanpa ragu laki-laki tua itu, setelah membayar tukang ojek, mendatangi meja mereka.

Terus duduk di depan mereka.

"Kakèk ?", anak perempuan itu terkejut.

"Kamu bohong !" ujar laki-laki tua itu "pertama soal anak asuh. Kedua soal uang sekolah !".

"Iya, Kèk !", kata anak perempuan itu.

Kawan laki-lakinya diam saja.

"Kamu bohong. Sini kembalikan uangku !".

Tak punya pilihan lain, anak perempuan itu mengembalikan uang seratus ribu.

Lalu buru-buru dia menggandeng kawannya mengajaknya pergi.

Beberapa menit kemudian seorang pelayan restoran datang membawa dua mangkok mi bakso yang masih ngebul.

Dia terkejut dua anak itu sudah tidak ada.

"Kemana mereka, Pak ?", dia bertanya kepada laki-laki tua.

"Sudah pergi !", laki-laki tua menjawab.

"Terus ini bagaimana ?", ujar pelayan menunjuk ke mi bakso ngebul.

"Ya, nggak tau !', kata laki-laki tua itu sambil melangkah keluar restoran.

Namun belum sampai di luar, dia mendengar suara bos restoran memarahi pelayan tadi.

"Kamu harus bayar !. Potong gaji !", kata bos restoran berang.

Laki-laki tua lalu memanggil pelayan itu.

"Tolong mi bakso pesanan dua anak tadi, kamu bungkus. Biar aku yang bayar !", katanya.

Di bulan Juli yang panas terik itu, laki-laki tua melangkah di jalan aspal menenteng kantong plastik berisi mi bakso.
Jalan kota yang panjang dan berliku menuju rumahnya.

Tamat.

****

Penulis, Mar

Tags

Berita Terkini