Skip to main content

Aliansi Bukit Kaba dan Danau Dendam Tak Sudah

Ilustrasi/Bagus Sle
Ilustrasi/Bagus Sle

Jodoh siapa lah yang tau? Maut siapakah yang bisa menebak? Rejeki siapa juga yang bisa mengira? Dan, balak, tak seorangpun yang tau kapan terjadi.

Seperti hari ini. Jagad raya dunia kesenian provinsi ini heboh. Media sosial gempar. Tidak ada kabar dan berita sebelumnya, dan tidak seorang yang tau kapan sebuah 'pengujung' besar sebagai tempat duduk para tamu undangan pesta pernikahan di bangun.

Bangunan sebagai penghormatan buat para tamu sebuah pesta besar telah berdiri megah dan sangat indah di tengah-tengah Danau Dendam Tak Sudah. Semua orang saling bertanya. Bahkan penduduk di sekitar yang mendiami lokasi wisata dalam kota tidak tahu kapan bangunan yang menghebohkan itu dibuat.

Salah satu bangunan kedai yang bertingkat, sudah berhias lebih indah lagi. Semua pasang mata melongo tidak percaya. Tapi memang itulah yang ada di depan mata mereka.

Tidak ada pertanda sebelumnya, tiba-tiba saja telah berubah. Tidak ada kesibukan sebagaimana biasanya persiapan sebuah pesta besar terjadi.

Saat mata manusia pertamakali melihat perubahan itu, waktu itulah baru diketahui bakal ada kenduri besar akan terjadi di sini. Begitu banyak lalu lalang manusia yang siap menyambut pesta besar.

Di dalam kedai selama ini menjadi tempat para seniman muda berkumpul sekarang nampak megah oleh hiasan pernikahan tradisional suku Lembak kota.

D lapangan kosong belakang yang sehari-harinya juga dimanfaatkan sebagai warung topi second , sejak subuh sudah ada kesibukan para 'anak setamang' menghadap tungku api. Memasak air dan semua kebutuhan acara hari ini. Para ibu-ibu sibuk 'mengukur' kelapa, memotong dan menggiling bumbu, sayur mayur, daging-dagingan, ikan dan lain-lain untuk hidangan para tamu yang akan datang.

Dalam kamar atas, terjadi kesibukan induk inang menghias pengantin perempuan yang sangat cantik. Bahkan ketika belum dihias. Pengantin prianya sangat takjub, seolah tidak percaya dengan pandangan dan garis hidupnya.

Beberapa hari yang lalu di kamarnya, Ryu sedang kesakitan. Menahan semua akibat dari racun yang ditanamkan oleh Nuri melalui para pengawalnya. 

Ditambah dengan sikap Rindang, Prayet, si perawat dan kucing putih yang membuat geram memuncak. Akibatnya sebuah tamparan tangan kiri didaratkan ke pipi pemuda masa lalu dari gunung Bungkuk.

"Dang menampar adinda, Dang?" Pertanyaan seolah tidak percaya keluar dari mulut Rindang. Tangannya memegang pipi sebelah kanan.

"Iya, aku menamparmu!" Sangat tegas dan keras kalimat itu dikeluarkan.

"Dang lupa siapa adinda?" Pertanyaan yang mencerminkan ketidakpercayaan.

"Aku tidak perduli kamu anak raja Ratu Agung, aku tidak perduli kalau kamu dan saudara-saudara mu menyayangiku, ketika dalam situasi saat ini, kalian masih mengulur-ngulur waktu untuk menjawab pertanyaanku, siapapun kalian bertiga ini, akan menerima kemarahanku!"

Mataku membakar setiap hati yang ada di depanku.

"Adinda belum pernah merasakan pukulan seperti ini sebelumnya, Dang, dari siapapun..." Kalimat yang sulit diterjemahkan arahnya.

"Sekarang kamu merasakan. Dan kamu perawat, persekongkolan apa yang kalian bangun sehingga membuat aku marah begini? Kucing dekil, apa yang telah kalian ketahui?" Aku menggeram.

Rindang melangkah ke jendela, diikuti oleh gondrong (dulunya). Pemilik mata berbeda warna, kucing putih, duduk di ujung tempat tidur. Seolah tidak ingin memandangku. 

Kemarahanku tidak tertahan lagi. Aku ingin bangkit dan kembali memberikan tamparan atau apapun itu, kepada mereka bertiga.

Badan yang kaku dan nyeri tak tertahankan membuat aku terjatuh di lantai. Gonggongan-gonggongan seekor anjing keluar dari mulut tanpa dapat ditahan. Aku sangat kesakitan. Air liur meleleh dari mulut dan tumpah ke lantai.

Aku memejamkan mata. Ingin mengurangi sakit yang disebabkan oleh mata yang melihat cahaya. Ketika pandangan sudah gelap, aku rasakan tangan seseorang memasangkan kain hitam penutup mata yang digunakan selama ini.

"Maafkan kami, Dang..." Aku rasakan pemilik tangan itu adalah Rindang.

"Bukannya kami sengaja ingin mempermainkan Dang tapi kami sangat sulit menyampaikan ini pada Dang. Kami tidak tahu mau memulai dari mana..."

Karena masih kesal, kalimat permintaan maaf itu aku rasakan sebagai pembelaan diri.

"Sudahlah... Kalian jangan membela diri. Kalian sengaja ingin membuat aku merasakan kesakitankan?" Tuduhan yang sangat kejam!

"Bang, kami tidak bisa sampaikan kalau Nuri menginginkan Abang sebagai suaminya. Jika Abang menolak, maka semakin banyak kaum laki-laki, bukan hanya keturunan para pelaku kezaliman terhadap dirinya dan juga orang-orang terdekat Abang tidak akan sembuh. Jika Abang menerima, Rindu Hati, Rival dan lain-lain akan pulih, dan 5 remaja itu tidak akan jadi korban selanjutnya!" Kalimat ini terkesan lepas kontrol keluar dari mulut Prayet. 

Saat dia tersadar, kedua tangannya menutup mulut dengan mata yang membelalak memandang Rindang. Aku melihat ekspresi itu dari sebelah mata yang sengaja aku singkap penutupnya.

"Maaf, Rindang. Aku keceplosan...!" Sesal tercermin dari kata-kata itu.

Tak bisa terhindarkan lagi. Aku sudah mendengar kalimat ini dan membuat aku tak percaya dengan yang telah aku dengar.

Kembali penutup mata dibuka. Pandanganku ditujukan pada Rindang. Minta pengulangan atau sebuah ketegasan kalau yang aku dengar salah..

Rindang juga terkejut dengan kelepasan lidah orang di depannya. Tidak lama kemudian, dia menarik nafas dan melepaskan dengan kelegaan . Seolah melepaskan beban yang sangat berat.

Sepasang mata bagus miliknya memandang ke arahku.

"Benar, dang. Apa yang Dang dengar itu benar. Prayet tidak salah..."

Badan yang kaku semakin kaku. Aku tidak bisa berfikir.

"Nuri menginginkan Dang sebagai ganti dari kakak Dang...."

Sumpah, aku belum bisa bereaksi. Masih terpaku oleh kalimat-kalimat pria perawat yang tersesat di Enggano masa lalu.

"Ketika sudah bertemu dengan Dang, kakanda Dang sudah tidak menarik lagi baginya. Apa lagi ketika dia dengan gampang dapat bercinta dengannya ..."

Aku merasakan sakit yang lain lagi di tubuhku. Sakit hati atas kekecewaanku terhadap kelakuan kakak yang aku banggakan, tapi ternyata bisa berlaku rendah ketika berhadapan dengan wanita liar.

Nuri si ratu racun pengembara dari Tanah Hitam pemilik dua ratus lebih ekor anjing telah mengalahkan aku sekalah-kaalhnya bahkan sebelum aku melakukan apapun.

Kembali pada pesta besar di tengah danau Dendam Tak Sudah.

Belum ada tamu yang datang. Hari memang masih sangat pagi. Mata hari baru saja terbit. Sinarnya memantul indah di permukaan danau. 

Pada kelopak bunga anggrek langka yang mekar pertamakali pagi ini masih menggelayut manja setetes embun.

Nampak kesibukan para tuan rumah. Terlihat Rindang dan seluruh keluarganya sibuk saling merapikan pakaian saudaranya yang lain. Nenek Caya, Datuk Hitam mondar mandir seolah tidak sabar lagi menunggu waktu yang akan tiba.

Semua tokoh masa lalu ini adalah tuan pemilik acara besar yang akan berlangsung sekaligus sebagai penyambut tamu.

Semua kesibukan mereka dengan jelas dapat aku lihat. Kemajuan tekhnologi masa kini membuat menjadi mudah tanpa aku meninggalkan ruang 4x4 sebagai kamar sekaligus tempat isolasi diri. Setiap gerak gerik dan yang terjadi di lokasi pesta terpampang di layar tv besar. Sebuah stasiun tv lokal menyiarkan secara langsung acara megah ini.

Semua yang kebetulan melintas di jalan di pinggir danau berhenti. Ada juga yang sengaja datang hanya ingin membuktikan apa yang telah menyebar di media sosial. 

Ada yang langsung pulang tapi lebih banyak lagi tetap bertahan untuk melihat apa yang terjadi.

Semakin siang semakin ramai yang datang. Tamu -tamu undanganpun telah hadir satu persatu. Perbedaan undangan dan bukan terlihat dari 'dresscode' yang di pakai. 

Undangan pesta dengan pakaian 'masa lalu' sedangkan yang bukan hanya datang dengan pakaian sehari-hari. Beberapa wanita juga ada yang hanya menggunakan daster atau baju tidur.

Musik tradisional khas untuk acara pernikahan mengalun dinamis antara riuh suara, desau angin dan panorama danau.

Sepanjang hari, dan terasa sangat singkat, acara resepsi pernikahan Lalan, sang bidadari Bukit Kaba, dengan Eceng, seorang seniman fenomenal, berlangsung sangat meriah dan istimewa.

Terutama ketika kedua mempelai melangkah di jembatan penghubung berhias janur yang menaungi dari pinggir jalan menuju 'pengujung' hingga tengah-tengah danau. Sepanjang jembatan berdiri berderet bujang gadis sebagai pagar penyambut pengantin. 

Di ujung jembatan dekat dengan panggung utama, disambut dengan tari 'persembahan' asli lengkap dengan pakaian yang sangat indah. Emas dan berlian pada pakaian dan mahkota berkilau sangat menakjubkan. 

Penari dan bujang gadis 'pagar betis' adalah gadis-gadis yang masih perawan. Para bujangpun dipilih yang masih perjaka.

Mahkota Lalan dan Eceng jauh lebih megah lagi. Belum pernah aku lihat kualitas mahkota seperti itu selama ini. 

Saat melihat kebahagiaan sejoli ini, aku teringat dengan awal perjumpaan mereka. Terutama sebab Lalan jatuh cinta pada Malim Bagus yang sangat pandai memainkan suling bambunya.

Sedangkan Eceng adalah peniup harmonika. Ketika bibir pria ini sudah menempel pada alat musik tiup tersebut, maka para pendengarnya akan terbawa oleh emosi dari lagu yang dimainkan.

Seniman muda itu sedang duduk di pinggir sawah yang ada di halaman rumah Lalan. Meniup harmonika dengan lagu cinta. Lalan yang sedang panen sayur di belakang dapur tertegun dan hampir lupa dengan sayur yang akan dia ambil.

'Janda' Malim Bagus tanpa sadar melangkah mendekati sumber suara yang telah melenakan jiwanya.

"Aku telah menemukannya...." Suara gumam dari mulut merah tanpa gincu.

Aku yang melihat dan mendengar setiap gerak 'pengantin berabad-abad' itu juga tertegun. Mataku tak lepas dari setiap gerak tubuh indahnya.

"Aku telah menemukan pengantinku..." Tanpa sadar kaki bidadari itu melangkah mendekati pemuda yang memainkan melodi cinta menggelora. Tangan wanita itu mendekap dada. Bersembunyi di balik dinding rumah sambil sesekali mencuri pandang pada peniup alunan cinta di hatinya. Tak jarang dia meresapi setiap melodi dengan memejamkan mata sambil bersandar di dinding. Bibirnya tersenyum penuh bahagia dan cinta.

Aku mendekati Lalan. 

"Lalan...." Sangat hati-hati aku memanggil nama itu.

"Aku telah menemukan pengantinku, Ryu Bagus... Maukah kau sampaikan pada bujang itu bahwa aku ingin menikah dengannya?" Antara berbisik dia memegang tanganku.

Terus terang, aku merasa sangat sakit atas permintaan ini. Ada amarah terhadap keberuntungan Eceng. Terselip perasaan menyesal mengapa aku menyertakan dia dalam perjalanan ini.

"Tapi, aku... Tapi Lalan... Aku, aku..." 

"Ayolah Ryu Bagus. Tolonglah. Kali ini atau aku tidak akan pernah bertemu lagi denganmu...!" Ada pemaksaan dan ancaman di situ.

Dasar wanita. Apakah dia tidak melihat aku menyukainya? Apakah dia tidak melihat aku juga menginginkan dia menjadi pengantinku? 

"Kenapa dia, Lalan?" Ada sedih di kalimat itu.

Lalan memandangku penuh selidik. Mataku tidak berani beradu pandang.

"Apakah kau tidak mendengar melodi cinta itu, Ryu Bagus? Alunan cinta itu telah mengikat hatiku dan menghelanya di setiap nada. Oh...Ryu Bagus... Tolonglah..."

Sangat berat hatiku melangkah mendekati laki-laki kurus, rambut gondrong, dekil, dan penjual topi bekas tersebut. 

"Sampaikan salam cinta dariku...." Bisik Lalan sebelum aku melangkah.

Lalan, apakah dia tidak tahu kalau saat ini hatiku dikuasai oleh api amarah dari cemburu?

Suara serunai menyambut kedatangan pengantin melengking tinggi, mengalihkan ingatanku saat awal acara besar ini terjadi.

Di layar tv besar di depanku menampilkan dua wajah merona bahagia. Oh, alangkah sempurnanya pengantin Lalan. Di sampingnya melangkah dengan sangat agung seorang Eceng. Inikah wujud dan sikap sebenarnya pemuda itu? Aku kagum dan menafikan kecemburuan di hatiku.

Saat mataku sangat fokus pada gambar yang ditampilkan oleh tv, pikiranku malah mengingat kalimat yang disampaikan oleh Prayet dan diiyakan oleh Rindang.

"Oh, Mak.... Mengapa harus begini jalan hidupku? Tidak adakah jalan lain?" Aku mengeluh dalam hati. 

"Itu jalan satu-satunya jika Abang ingin menyelamatkan orang-orang yang Abang sayangi".

Ah, kalimat pemuda pemilik induk Bahar putih menggema kembali di pendengaranku.

Tiba-tiba saja aku lelah. Membaringkan tubuh dengan jiwa yang terluka sangat dalam. Perih tak terobati.

Kucing dekil pemilik mata berbeda warna menjilati tubuhku. Dari ujung kaki. Aku menikmati jilatan tersebut. Setiap kali lidah kecil kasar itu menjilat satu wilayah kulit di tubuhku, rasa nyaman semakin terasa. Bahkan setelah seluruh tubuhku selesai dijilat, perlahan terasa bugar.

"Kamu sekarang sudah sembuh. Seluruh racun dalam tubuhmu telah hilang tak tersisa."

Mata biru teduh samudra dan kilau emas memandangku dengan riang. Tapi sinar bahagia itu aku rasakan palsu. Ada lelah yang amat sangat yang aku tangkap dari cahaya mata itu.

"Bolehkah aku berbaring di sampingmu? Aku ingin istirahat sekarang." 

Tanpa menunggu jawaban dariku tubuh berbulu putih yang agak kasar dan tidak bersih itu berbaring persis di sebelah kananku. Menempel pada kulit lengan. 

Pelan dan hati-hati pertanda penghormatan, tubuh lemah itu aku angkat dan meletakkan tepat di dadaku. Perlahan aku tertidur.

Berapa lama aku masuk dalam lelap dan lelap yang sangat, sehingga aku tidak tahu lagi berapa waktu yang aku habiskan untuk tidur pada siang ini?

Ketika aku sudah kembali pada kesadaran, kucing putih perwujudan raksasa karang dari samudra Hindia masih ada di dadaku. Tubuhnya kaku. Aku terpaku. 

"Putih, bangun! Hei, bangun!" Tidak ada reaksi.

Dengan kedua telapak tangan aku angkat sosok imut dari seorang raksasa dan meletakkannya dengan hati-hati di atas kasur. 

Berkali-kali aku membangunkan tapi tidak ada pertanda bahwa si penjilat penyembuh dan penyerap racun dari tubuhku akan bergerak. Dengan cemas dan gelisah aku perhatikan mulut dan lidah yang keluar. Hitam kebiruan! Telapak kaki juga sama. Ada beberapa tetes air liur di bajuku juga hitam kebiruan.

"Oh, apakah ini warna racun-racun dari si pengembara itu?"

Aku menguraikan air mata. Menangis tanpa suara. Menangisi pengorbanan yang dilakukan oleh si putih imut yang dekil. Demi kesembuhan ku, rela mengorbankan dirinya.

"If..." Sedikit berteriak memanggil salah seorang karyawan, ketika emosiku mulai tenang.

"Iif..." Panggilanku lebih diperkeras ketika tidak ada sahutan.

"Iya, pak?" Suara dari luar.

"Ada apa, pak?" Kalimat yang disertai kemunculannya di kamarku yang aku rasakan ada aura hitam.

"Tolong telpon Prayet. Sampaikan kalau si Putih telah wafat..."

Wajah yang tenang itu terkejut dan memucat. Matanya memperhatikan mahkluk yang mengorbankan jiwa dan raganya untukku yang saat ini kaku.

"Cepat. Jangan mengulur waktu lagi. Katakan juga, kalau Rindang harus ikut serta ke sini "

"Iya, pak..."

Entah perasaan apa yang ada di hatiku. Yang pasti aku sangat berterima kasih pada pemilik mata dua warna ini dan aku berhutang nyawa padanya.

Kesembuhan ini membawa lara yang perih di jiwaku. Aku kehilangan Lalan, si Putih, dan kemudian harus hidup bersama dengan seorang ratu racun.

Mengapa harus begini takdir yang aku jalani? Demi menyelamatkan banyak orang yang aku kasihi? Bagaimana dengan hatiku? Apakah aku tidak berhak mengasihi hatiku sendiri? 

Bagaimana dengan hati si Bungsu Tanah Hitam? Bukankah dia sangat jelas merindu padaku? Hatiku bergetar sangat syahdu saat melihat senyum di bibir mungil itu?

Cinta memang tak bisa ditebak akhirnya. Pada ujung jalan sering membuat persimpangan yang meragu terhadap pilihan, tapi harus dipilih. 

Haruskah aku menyalahkan seseorang? Jika iya, maka orang pertama yang aku salahkan adalah Rindu Hati. Ups, mengapa harus dia? Dialah yang mengawali semua kejadian luar nalar dalam hidupku. Dia yang membawa aku melangkah pertama kali ke desa Sungai Mati dan menemui para sahabat-sahabatnya yang telah menyertai kehidupannya.

Kenapa bukan bang Dadin yang dia bawa ke malam awal semua petaka ini? Oh, jangan, kakak tersayangku tidak boleh mengalami peristiwa-perisriwa yang aku alami sepanjang perkenalanku dengan Byuto.

Atau aku harus membenci si manusia berkepala anjing itu? Dia penyebab yang juga bertanggung jawab terhadap kesedihan yang aku alami jika mengenang pemuda harimau hitam itu terhianati cintanya.

Ah, entahlah. Begitu lama kedatangan dua orang yang aku tunggu saat ini. Aku harus mempersiapkan upacara pemakaman bagi pahlawan mati dan hidupku.

Ada angin berhawa pemuda dari Gunung Bungkuk, dan angin dengan hawa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya menyeruak ke rongga hidungku. Diikuti oleh banyak angin lainnya.

" Kalian terlalu lama!" Sergahku dengan marah. 

Seorang perempuan memelukku dengan erat. Tangisnya hanya berurai air mata.

"Terimakasih ya Lak Talo. Akhirnya saudaraku sembuh juga."

Sunting pengantin di kepalanya gemerincing mengikuti setiap gerakannya.

"Lalan... Bagaimana dengan pestamu? Apakah kau disuguhi rebung dan pakis lagi, maka kau kabur ke sini?" Terus terang saja aku mencurigai dia melarikan diri lagi. Seperti yang dia lakukan terhadap pengantin pertamanya, Malim Bagus 

"Idak la, bang. Tidak mungkin dia akan meninggalkan adik Abang yang tampan ini..." Diikuti cengengesannya yang menjadi salah satu khas diri seniman beruntung ini.

"Rindang, mengapa harus begini...?" Kalimat nelangsa dari seorang yang merasa dirinya menjadi 'entah'!

"Dang, ini pilihannya. Sebelum dia melakukan apa yang dia putuskan, dia sudah tahu resiko yang akan dia alami..."

Rindang merabai seluruh tubuh si pemilik mata dua warna. Perlahan uap hitam samar-samar keluar dari tubuh yang sudah mengakhiri hidupnya untukku.

Lalan, si pengantin sepanjang hidupnya, sangat mencemaskan aku. Tak henti tangannya mengurut pundak dan memijat kepalaku. Ada samar kecemburuan dari sinar mata Eceng, juga masih mengenakan pakaian pengantinnya.

Sore, sejenak sebelum maghrib, sebuah kapal ferry meninggalkan mulut pelabuhan. Terompetnya memekakkan telinga. Di atasnya sekelompok orang sedang berkabung. Penuh penghormatan melingkari sebuah peti kecil.

Jauh di ufuk horizon, matahari mulai tenggelam. Bias cahaya jingga keemasan menaungi pergerakan kapal penyeberangan dari tanah daratan menuju pulau kecil bernama Enggano.

***

Bagus Sle, Cerpenis

Tags

Berita Terkini