Paradoks Pancasila 

Oleh: Elfahmi Lubis**

1 Juni dalam kalender nasional diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peristiwa historis ini  pernah hadir dalam memori kolektif kita sebagai sebuah bangsa. Melalui momentum ini, saya ingin mengajak kita semua untuk  merefleksi  perjalanan kebangsaan dengan tetap memposisikan Pancasila sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu membumikan  Pancasila dalam praksis kehidupan harus menjadi agenda utama bangsa ini.

Dalam lintas sejarah kita berbangsa sudah cukup kiranya Pancasila membuktikan dirinya sebagai ideologi yang berisi nilai dan gagasan yang adiluhung sebagai guide bagi bangsa ini dalam merajut tenun kebangsaan yang guyup, harmonis, damai, dan toleran. Sehingga.sampai  detik ini "kapal" yang  bernama Indonesia tetap kokoh berlayar mengarungi samudera kebangsaan.

Kritik keras  berkaitan dengan praktek berpancasila hari ini adalah masih banyaknya diantara kita mulai dari pemimpin sampai rakyat jelata, yang baru menjadikan Pancasila hanya sebatas etalase yang bersifat simbolik. Pancasila sekedar live service dibibir tapi belum menjadi roh dan spirit dalam bertindak dan bersikap. Implementasi nilai-nilai Pancasila baru sebatas  narasi  dan simbolisasi belum dalam implementasi nyata dalam tata sikap dan perilaku sehari-hari warga bangsa

Banyak orang yang dengan gagah dan membusung dada mengaku seolah-olah paling Pancasilais tapi perilakunya koruptif. Banyak yang mengaku paling Pancasilais tapi perilakunya tidak adil, rasis, dan diskriminatif.  Banyak orang yang mengaku paling Pancasilais tapi perilakunya selalu provokatif dan memecah belah bangsa, dan banyak lagi perilaku negatif lainnya.Terakhir, banyak orang yang mengaku Pancasilais tapi sekedar dijadikan jargon dan instrumen untuk "memukul" lawan politik yang berseberangan dengannya dan sekedar meneguhkan identitas politiknya.

Melihat gejala dan fenomena ini rasanya sudah cukup alasan bagi kita untuk mengembalikan Pancasila sebagai landmark yang berfungsi sebagai way of life bagi segenap warga bangsa. Pancasila tidak boleh dikavling-kavling oleh kelompok dan golongan tertentu yang seolah-olah sebagai pemilik sahnya, tapi dalam kenyataannya Pancasila hanya dijadikan simbol untuk meneguhkan identitas politiknya. Selanjutnya, membangun justifikasi dan stereotipe jika kelompok dan golongan anak bangsa lain dianggap "penumpang gelap". 

Kesempatan momentum peringatan kelahiran Pancasila ini, saya juga ingin mengajak kita semua untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan kita. Sembari mengingatkan betapa pentingnya membangun toleransi di tengah kemajemukan dan keberagaman sebagai sebuah bangsa. 

Kondisi  berbahaya yang perlu diwaspadai kedepan terkait relasi Pancasila, agama dan negara sebagaimana yang diungkapkan Charles Kimball dalam Bukunya “When Religion Becomes Evil’’; jika pemeluk agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak, jika penganut agama mengkultuskan pemimpin agama dan bertaqlid buta kepadanya, jika pemeluk agama mulai gandrung mengimpikan atau romantisme terhadap zaman ideal dalam sejarah agama, jika pemeluk agama membenarkan penggunaan semua cara untuk mencapai tujuan, dan jika pemeluk agama mulai meneriakkan perang suci dan memanipulasi agama untuk kepentingan politik.

Masih adanya sebagian kelompok yang ingin mengulangi romantisme sejarah masa lalu dengan mengusung gerakan khilafah dan radikalisme dalam wacana politik negara. Padahal gerakan ini jelas melawan takdir sejarah bangsa Indonesia yang telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi  negara. Upaya untuk membangkitkan gerakan khilafah dan radikalisme agama yang anti teloransi dengan gerakan politik merupakan tindakan yang harus berhadapan dengan negara dan arus utama bangsa ini.

Faktanya dalam sejarah, gerakan ekslusif agama tidak pernah membawa kedamaian. Timur Tengah merupakan contoh nyata, bagaimana harus tercabik-cabik dalam perang saudara dan fundamentalisme agama, yang telah menyesangsarakan jutaan orang. Segala gerakan dan pemikiran yang akan membuat bangsa ini tercabik-cabik dalam konflik agama harus dilawan, seraya mendorong negara untuk menegakkan keadilan hukum, sosial, dan politik.

Secara kuantitatif Indonesia merupakan negara demokrasi ketiga terbesar setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia sebagai negara berdaulat telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai cammon platform diantara komunitas dan kelompok warga yang sangat majemuk. Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia bukan confenssional state (negara berdasarkan agama) juga tidak negara murni ‘’sucular state’’ yang menjadikan agama cukup sebagai landasan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus dipahami bahwa mayoritas mutlak pemimpin Indonesia menerima Pancasila sebagai dasar negara yang final. Konteks ini sebenarnya multikulturalisme, pluralisme atau kemajemukan sudah diakui negara lewat prinsip Bhineka Tunggal Ika (Diversity in Unity).

Secara politis, Pancasila merupakan ideologi negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, alat pemersatu bangsa, dan alat untuk menjaga kemajemukan dan kebhinekaan diantara berbagai agama, suku, ras dan golongan. Terakhir, Pancasila alat untuk menjaga semangat kebangsaan (nasionalisme). Pancasila, setidaknya terkandung lima nilai dasar yang harus menjadi rujukan bagi bangsa ini yaitu; nilai spritualitas, nilai humanisme, nilai persatuan, nilai demokrasi, dan nilai keadilan sosial.

Implementasi nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, diejawantahkan dalam perilaku berikut ini:  nilai spritualitas dalam bentuk budi pekerti luhur dan akhlak mulia (integrity and piety), nilai kemanusiaan berpihak pada upaya penegakan HAM, terutama bagi kelompok rentan dan marginal, nilai pluralisme yang mengapresiasi setiap perbedaan dan kemajemukan, nilai kecintaan terhadap NKRI dan rasa solidaritas sesama warga bangsa, dan nilai kepedulian dan solidaritas untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Globalisasi telah membawa kontestasi nilai (ideology) dan kepentingan yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas baik dalam konteks politik maupun sosial budaya. Menguatnya gejala polarisasi dan fragmentasi sosial baik berbasis identitas keagamaan, kesukuan, golongan dan kelas-kelas sosial. Kondisi di atas, diperparah oleh lemahnya literasi beragama dan budaya kewargaan. Indonesia sebagai masyarakat plural kurang mengembangkan wawasan dan praktik-praktik pembelajaran berbasis multikulturalisme.

Oleh sebab itu teologi dan politik harus tegas menyuarakan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan, solidaritas dan emansipasi. Teologi dan politik juga harus mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Teologi dan politik juga harus mampu membimbing dan mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi. Salam Pancasila dan Salam Indonesia.

  • Sales
  • BPKAD Kota Bengkulu

Berita Terkini